Seringkali dijumpai dalam firman-Nya, Allah Ta’ala 
menyandingkan antara tawakal dengan orang-orang yang beriman. Hal ini 
menandakan bahwa tawakal merupakan perkara yang sangat agung, yang tidak
 dimiliki kecuali oleh orang-orang mukmin. Bagian dari ibadah hati yang 
akan membawa pelakunya ke jalan-jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Diantara firman-Nya tentang tawakal ketika disandingkan dengan orang-orang beriman, “… dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al Ma’idah: 11).
Dan firman-Nya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah 
mereka yang apabila disebut nama Allah gementar hatinya, dan apabla 
dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambahlah imannya, dan hanya 
kepada Rabb mereka bertawakal” (QS. Al Anfal : 2).
Tentunya masih banyak ayat lain dalam Al Qur’an yang berisi tentang tawakal, demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah itu sebenarnya tawakal? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas lebih terperinci mengenai tawakal.
Definisi tawakal
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakal 
adalah hati benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh 
maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) 
dari urusan-urusan dunia dan akhirat”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal 
adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang 
dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh 
kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas
 yang dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.”
Tawakal Bukan Pasrah Tanpa Usaha
Dari definisi sebelumnya para ulama menjelaskan bahwa tawakal harus 
dibangun di atas dua hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah dan 
mengupayakan sebab yang dihalalkan. Orang berupaya menempuh sebab saja 
namun tidak bersandar kepada Allah, maka berarti ia cacat imannya. 
Adapun orang yang bersandar kepada Allah namun tidak berusaha menempuh 
sebab yang dihalalkan, maka ia berarti cacat akalnya.
Tawakal bukanlah pasrah tanpa berusaha, namun harus disertai 
ikhtiyar/usaha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah 
memberikan contoh tawakal yang disertai usaha yang memperjelas bahwa 
tawakal tidak lepas dari ikhtiyar dan penyandaran diri kepada Allah.
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya
 kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan
 kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut 
pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam 
keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Tidak kita temukan seekor burung diam saja dan mengharap makanan datang sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
 memberikan permisalan ini, jelas sekali bahwa seekor burung pergi untuk
 mencari makan, namun seekor burung keluar mencari makan disertai 
keyakinan akan rizki Allah, maka Allah Ta’ala pun memberikan rizkiNya 
atas usahanya tersebut.
Syarat-Syarat Tawakal
Untuk mewujudkan tawakal yang benar dan ikhlas diperlukan 
syarat-syarat. Syarat-syarat ini wajib dipenuhi untuk mewujudkan semua 
yang telah Allah janjikan. Para ulama menyampaikan empat syarat 
terwujudnya sikap tawakal yang benar, yaitu:
1. Bertawakal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman: “Dan
 kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan 
kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, 
dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari 
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 123).
2. Berkeyakinan yang kuat bahwa Allah Maha mampu mewujudkan semua 
permintaan dan kebutuhan hamba-hamba-Nya dan semua yang didapatkan hamba
 hanyalah dengan pengaturan dan kehendak Allah. Allah berfirman,“Mengapa
 kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan 
kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap 
gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah 
saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).
3. Yakin bahwa Allah akan merealisasikan apa yang di-tawakal-kan 
seorang hamba apabila ia mengikhlaskan niatnya dan menghadap kepada 
Allah dengan hatinya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang 
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. 
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. 
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.“ (QS. Ath-Thalaq: 3).
4. Tidak putus asa dan patah hati dalam semua usaha yang dilakukan 
hamba dalam memenuhi kebutuhannya dengan tetap menyerahkan semua 
urusannya kepada Allah. Allah berfirman, “Jika mereka berpaling 
(dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah
 selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang 
memiliki ‘Arsy yang agung.’”(QS. At-taubah: 129).
Apabila seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan benar-benar 
ikhlas dan terus mengingat keagungan Allah, maka hati dan akalnya serta 
seluruh kekuatannya akan semakin kuat mendorongnya untuk melakukan semua
 amalan. Dengan besarnya tawakal kepada Allah akan memberikan keyakinan 
yang besar sekali bahkan membuahkan kekuatan yang luar biasa dalam 
menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Sebagaimana Allah ta’ala 
berfirman (yang artinya), “Dan apabila Allah menimpakan kepadamu 
suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan 
apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak
 keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia 
kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)
Dengan mendasarkan diri pada keyakinan bahwa hanya Allah saja yang 
dapat memberikan kemudharatan maka seorang mukmin tidak akan gentar dan 
takut terhadap tantangan dan ujian yang melanda, seberapapun besarnya, 
karena dia yakin bahwa Allah akan menolong hambaNya yang berusaha dan 
menyandarkan hatinya hanya kepada Allah. Dengan keyakinan yang kuat 
seperti inilah muncul mujahid-mujahid besar dan ulama-ulama pembela 
agama Islam yang senantiasa teguh di atas agama Islam walaupun 
menghadapi ujian yang besar, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan 
raganya untuk agama Islam.
Tawakal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menjadikan 
hati seorang mukmin ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang
 ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan 
kesempurnaan iman. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan
 merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah 
Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad
 shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”
Setiap hari, dalam setiap sholat, bahkan dalam setiap raka’at sholat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’;
 hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami 
meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat 
menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan 
selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.”
 (QS. al-Ma’idah: 23). Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban 
menyandarkan hati semata-mata kepada Allah, karena tawakal adalah 
termasuk ibadah.
Tawakal yang Salah
Kesalahan dalam memahami dan mengamalkan tawakal akan menyebabkan 
rusaknya iman dan bisa menyebabkan terjadi kesalahan fatal dalam agama, 
bahkan bisa terjerumus dalam kesyirikan, baik syirik akbar (syirik besar) maupun syirik asghar (syirik kecil). Adapun kesalahan dalam tawakal yang menyebabkan terjerumus dalam syirik akbar
 adalah seseorang bertawakal kepada selain Allah, dalam perkara yang 
hanya mampu diwujudkan oleh Allah. Misalnya: bertawakal kepada makhluk 
dalam perkara kesehatan, bersandar kepada makhluk agar dosa-dosanya 
diampuni atau bertawakal kepada makhluk dalam kebaikan di akhirat atau 
bertawakal dalam meminta anak sebagaimana yang dilakukan para penyembah 
kubur wali.
Adapus jenis tawakal yang termasuk dalam syirik asghar 
adalah bertawakal kepada selain Allah yang Allah memberikan kemampuan 
kepada makhluk untuk memenuhinya. Misalnya: bertawakalnya seorang istri 
kepada suami dalam nafkahnya, bertawakalnya seorang karyawan kepada 
atasannya. Termasuk dalam syirik akbar maupun asghar keduanya merupakan 
dosa besar yang tidak akan terampuni selama pelakunya tidak bertaubat 
darinya.
Penutup
Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid 
seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada 
Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat 
berlindung selain-Nya. Jika kita yakin bahwa Allah ta’ala yang 
menguasai hidup dan mati kita, mengapa kita menyandarkan hati kita 
kepada makhluk yang lemah yang tidak bisa memberikan manfaat dan 
mudharat kepada kita?